Selasa, 08 November 2016

Ochi, kakakku yang seksi 2

Beberapa hari berlalu, kakakku tidak pernah lagi menggodaku secara sadis seperti waktu itu. Pernah aku mencoba memintanya lagi pada kak Ochi, tapi ditolaknya. Ya.. aku tidak mau juga sampai terlalu memaksanya, termasuk mengulangi perbuatan kurang ajar menyemprot wajahnya diam-diam seperti waktu itu. Aku takut nanti hubungaan kami malah rusak. Hmm.. ambil aja positifnya, kalau keseringan onani gara-gara dia bisa-bisa makin menonjol tulang lututku ini, hehe… Meskipun begitu, dia masih seperti biasa hanya mengenakan pakaian seadanya kalau di dalam rumah, termasuk bila ada teman-temanku.
Bila aku betul-betul tidak tahan melihat penampilannya, terpaksa aku hanya onani sendiri di kamar atau di kamar mandi. Sampai saat ini juga masih kak Ochi yang menjadi prioritas objek onaniku, soalnya masih belum ada yang lebih hot dari dia sih, hehe..
Seperti saat sekarang ini, aku sedang onani tiduran di kamarku sambil memandang fotonya di hapeku. Foto-foto dirinya yang sudah aku edit abis sedemikian rupa pake photoshop. Ada yang seperti dia lagi megang penis, ada yang seperti sedang disetubuhi ramai-ramai dan lain-lainnya.
“Adeeekk…” katanya nyelonong masuk ke kemarku tanpa mengetuk pintu. Aku terkejut bukan main sekaligus panik dipergoki olehnya sedang onani.
“Ups… lagi asik yah? Sorry sorry… kakak cuma mau minta satu sms, pulsa kakak habis nih…” dia lalu mendekat dan dengan santainya mengambil ponsel dari tanganku.
“Hah! Apaan nih, dek?!”
Mati deh, aku belum sempat nge-close foto-foto itu.
“Kamu ngebayangin kakak kaya gini?” tanyanya lagi sambil terus memperhatikan foto-foto editanku itu. Aku tidak dapat mengelak, aku bersiap-siap saja bakal kena sembur olehnya.
“Rapi banget editnya, dek… kaya asli,” Heh? Dia malah memuji ternyata.
“Hiiiii.. gak kebayang deh kalo betulan kaya gitu, masa kakak gituan sama orang negro sih? Digituinnya rame-rame lagi, hahaha… Dasar kamu… fantasinya ada-ada aja. Ya udah, minta satu sms bentar.”
Dia tidak marah! Malah dia ketawa melihat editanku! Aku hanya terdiam di atas tempat tidurku tanpa tahu harus berbuat apa, tanganku menutup penisku yang sedang tegang-tegangnya itu. Sedangkan dia cuek saja berdiri di sebelahku sambil ngetik sms dan… makan pisang?
Pikiranku langsung ngeres. Seharusnya tidak ada yang aneh melihatnya lagi makan pisang, tapi aku yang saat ini lagi horni-horninya malah menghayal yang tidak-tidak. Apalagi pakaiannya tetap minim seperti biasa, hanya mengenakan tanktop abu-abu longgar dan celana pendek ketat. Tanpa sadar aku mulai mengocok penisku lagi sambil membayangkan kalau pisang itu adalah penisku.
“Nih, dek… makasih,” katanya meletakkan hapeku ke dadaku setelah selesai mengirim sms. “Asik benar kayanya kamu, dek… Napa, dek? Ada yang salah kalau kakak makan pisang? Kamu mau juga?”
“M-mau, kak.” kataku kesenangan.
“Nihhhh,” katanya sambil menyodorkan pisang itu ke mulutku. Yah.. aku kira dia bakal memakan ‘pisang punyaku’, ternyata malah menyodorkan pisang di tangannya itu, aku gigit dan makan juga sedikit.
“Enak?” tanyanya, aku hanya senyum kecil saja. Dia lanjutkan memakan pisang itu lagi, bahkan sekarang sengaja memancing birahiku lebih lanjut dengan menjilati dan mengemutnya.
“Hihi.. Napa, dek? senang banget kayanya kamu lihat kakak makan pisang, mikirin apaan sih?” godanya. Aku hanya cengengesan saja. Aku rasa dia sendiri pasti tahu apa yang aku pikirkan.
“Dasar mesum, adekku ini makin gede makin porno aja… hihi,” katanya sambil mencubit hidungku.
“Ya udah, lanjutin deh ngocoknya…” katanya beranjak keluar dari kamarku. Yah... kok udahan? protesku dalam hati. Tapi dia seperti tahu saja kalau aku lagi nanggung, saat hendak menutup pintu dia menoleh lagi padaku.
“Dek… kalau kamu perlu bantuan kakak, kakak ada di teras belakang yah…” bisiknya sambil mengedipkan mata kirinya lalu menutup pintu kamarku, membuat darahku berdesir karenanya. Apa itu isyarat kalau aku boleh pejuin dia lagi?
Yuhuuuuuu…. Jantungku jadi berdebar-debar kesenangan.
Aku keluar kamar tidak lama setelah itu, aku nekat saja keluar kamar tanpa memakai dulu celanaku. Kulihat di halaman belakang dia lagi asik olahraga lompat tali. Kakakku ini memang rajin olahraga, pantas saja badannya tetap indah dan kencang. Beruntungnya aku punya kakak seperti dia, hehe…
Kak Ochi tersenyum saja melihatku yang tidak pakai celana menuju ke arahnya. Tapi dia teruskan lagi olahraganya tanpa menghiraukanku. Seolah sengaja memuaskan mataku dengan menunjukkan tubuh indahnya yang sudah mulai berkeringat. Aku duduk di kursi kayu yang ada di dekatnya. Dari sini saja aku dapat mencium aroma tubuhnya yang khas, apalagi sekarang dia penuh keringat seperti ini, membuatku semakin horni karenanya.
Aku mulai mengocok penisku sendiri di dekatnya. Tampak beberapa bagian tanktopnya sudah basah, dia betul-betul bermandikan keringat. Kulitnya jadi terlihat mengkilap menambah keseksiannya yang hanya dibalut pakaian minim seperti itu. Apalagi saat melompat buah dadanya berayun-rayun bebas karena dia tidak memakai bh. Duh, nafsuin banget, kakakku betul-betul menggoda basah-basahan karena keringat gini. Kalau bukan kakakku sudah aku perkosa dia dari tadi.
“Haaaaahh… capek kakak dek, kamu juga capek ya, dek? Hihihi,” katanya yang melihat aku juga ikut-ikutan olahraga, olahraga tangan tepatnya.
Kak Ochi duduk di lantai sambil mengibas-ngibaskan tanktopnya itu. Sesekali dia menyeka keringat di keningnya dengan tangan. Bahkan dia malah sengaja mempercikkan keringatnya itu ke arahku lalu ketawa-ketawa kecil. Bikin aku semakin gemas dan birahi saja.
“Udah selesai aja, kak?” tanyaku.
“Kenapa, dek? Masih belum puas lihat kakak keringat-keringatan? Bentar yah… istirahat dulu, capek… tolong ambilin minum dong, dek.. panas niiiih,” pintanya manja sambil masih sibuk menyeka keringatnya.
“Iya nih kak, panas, hehe.. kalau panas dibuka aja kak bajunya,” selorohku.
“Weeek… maunya kamu banget itu! Cepat sana ambiliiiin!! Ntar gak kakak terusin lagi lho,” perintahnya.
“Iya kak iya, bentar,” Aku lalu pergi ke dapur untuk mengambilkannya minum.
“Dek, sekalian tolong ambilin kakak handuk dong untuk lap keringat” pintanya lagi berteriak. Ku turuti saja permintaannya itu, ku pergi mengambil handuk di kamarnya.
“Nih kak…” kataku menyerahkan botol pocari swe*t dan selembar handuk kecil padanya.
“Makasih, deeekkk..” ujarnya ketika menerima. Dia sepertinya sangat kehausan, minuman itu sampai berleleran ke dagu dan jatuh ke dadanya, membuat tanktop yang dipakainya semakin basah.
“Nih, handuknya buat kamu aja deh, dek… kayaknya kamu lebih kepanasan dibanding kakak, hihihi…” katanya sambil melempar handuk kecil itu padaku. Wah, sepertinya dia mengerti kalau aku tidak mau dia cepat-cepat mengeringkan keringatnya.
“Lanjut lagi?” tanyanya dengan tatapan menggoda padaku.
“B-boleh, kak, hehe…”
Sambil tersenyum, dia pun bangkit dan mulai melompat lagi, memancing keringatnya untuk keluar lebih banyak dan makin membasahi tubuhnya. Aku juga memulai lagi aksi cabulku, mengocok penisku sendiri sambil menikmati pemandangan indah di depanku. Mukanya sudah memerah karena kepanasan, aku yang menyaksikannya juga jadi ikut-ikutan panas. Apalagi dia sesekali tetap melirik dan tersenyum kepadaku. Duh, penisku menegang sejadi-jadinya, rasanya penisku siap meledak kapan saja.
“Tok-tok-tok,” kami dikejutkan suara ketukan pintu dari depan. Membuat kami sama-sama menghentikan aktifitas.
“Kak, ada orang…” kataku pelan pada kak Ochi.
“Siapa yah, dek? Kamu buka giiiih,” suruhnya.
“Aku kan gak pake celana, kak. Kayaknya orang minta sumbangan deh, kak… biarin aja,” kataku.
“Jangan pelit, dek… udah, biar kakak aja yang bukain,” katanya. “Hmm.. sekalian wujudkan satu lagi khayalan nakalmu tentang kakak,” sambung kak Ochi berbisik sambil mengedipkan matanya dengan nakal, membuat darahku jadi berdesir. Dia lalu menuju pintu depan, namun Kak Ochi terlebih dahulu mengambil uang lima ribuan yang ada di atas kulkas.
Aku hanya mengintip saja dari sela-sela pintu belakang, rumah ini memang tidak telalu besar, dari tempatku berdiri saat ini aku bahkan bisa dengan jelas melihat keadaan ruang depan. Duh, jantungku berdebar dengan kencangnya memikirkan kakakku akan membukaan pintu pada orang yang tidak dikenal dengan pakaian sembarangan seperti itu, apalagi keadaannya begitu berantakan dengan wajah memerah dan keringat bercucuran.
“Iya, bentar…” sahut kakakku. Pintu depan pun terbuka.
“Sumbangan anak yatim, Non…” kata orang itu, seorang pria tua kulit gelap terbakar matahari dengan baju koko yang tampak lusuh, rambutnya juga sudah banyak tumbuh uban yang tidak bisa disembunyikan dari balik peci hitam tuanya.
Kulihat ekspresi pria itu yang tampak terkejut saat melihat penampilan kakakku. Meskipun sudah berumur, tapi dia tetaplah laki-laki yang pasti juga bakal konak melihat wanita berpenampilan seperti itu di depannya. Badanku jadi panas dingin melihat kakakku sedang dipelototi begitu, oleh pria tua tidak dikenal lagi. Kini bertambah satu orang lagi yang pernah melihat penampilan kakakku yang asal-asalan selain aku dan teman-temanku.
“Ini, Pak.. maaf Pak, cuma segini,” kata kak Ochi menyerahkan uang lima ribu.
“Iya, Non, gak apa. Makasih banyak yah, Non… semoga rezeki non makin lancar dan non makin cantik.”
“Amin…” sahut kakakku sambil tersenyum manis pada orang itu. Aku jadi konak luar biasa melihat pemandangan beauty and the beast ini. Kak Ochi, gadis muda yang cantik putih dengan pakaian terbuka sedang bersama pria tua hitam, dekil, jelek yang entah siapa.
“Gak masuk dulu, Pak? Bapak pasti haus kan? Minum dulu, pak…” tawar kak Ochi.
Apa-apaan sih kakakku ini, sembarangan aja ngajak orang tidak dikenal macam dia masuk ke dalam rumah.
“Eh, gak usah, Non… gak usah repot-repot,” tolak Bapak itu halus.
“Udah, Pak… masuk aja. Istirahat aja dulu, gak ada siapa-siapa kok di rumah.” tawar kakakku lagi.
Kulihat bapak itu seperti menelan ludah mendengar omongan kakakku, khususnya saat kak Ochi bilang tidak ada siapa-siapa di rumah. Kali ini kak Ochi menarik tangan pria tua itu ke dalam. Beruntunglah pria tua itu dapat merasakan halusnya tangan kakakku ini.
“I-iya deh, non, permisi…” kata pria itu berusaha sopan. Mereka lalu masuk ke dalam.
“Silahkan duduk, Pak…” kata kak Ochi mempersilahkan duduk. “Mau minum apa, Pak?” tanyanya lagi.
“Duh, gak usah repot-repot, non,”
“Gak repot kok, pak. Panggil Ochi aja Pak, gak usah pake non segala… kalau boleh tau, nama bapak siapa?” tanya kak Ochi ramah tanpa merasa risih sedikit pun, padahal dia sedang dipelototi dari tadi.
“P-panggil aja Pak Ahmad,” jawab Bapak itu grogi.
“Oh… Pak Ahmad. Ya udah, Ochi buatin teh manis aja yah, pak,” kata kakakku. Bapak itu hanya angguk-angguk saja.
Aku masih bersembunyi di sini, dengan dada berdebar menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kakakku lalu menuju dapur untuk membuatkan teh manis untuk mereka berdua. Kulihat mata bapak itu memandangi bongkahan pantat bulat kakakku dari belakang, dia juga tampak membetulkan celananya. Nafsunya sudah terpancing, gawat nih.
Saat di dapur, Kak Ochi tersenyum ke arahku yang masih bersembunyi. Dia menempelkan telunjuk ke ujung bibirnya sebagai tanda agar aku jangan berisik, lalu mengedipkan mata kirinya padaku dengan nakal. Duh, bikin gregetan banget, makin panas dingin badanku dibuatnya.
Kak Ochi kembali lagi ke depan sambil membawakan dua cangkir teh manis hangat. Ada-ada aja kakakku ini, padahal hari panas gini, tapi malah disuguhi teh hangat.
“Silahkan pak, diminum tehnya…” kata kak Ochi sambil meletakan minuman di tas meja di depan bapak itu. Saat meletakkan teh itu badan kak Ochi sedikit merunduk, membuat isi dari balik tanktopnya bisa saja terlihat. Sepertinya bapak itu memang melihatnya karena dia terlihat menelan ludahnya lagi. Dia menyadari kakakku tidak pakai bh! Duh, tensi semakin tinggi dan memanas!
“I-iya. Makasih, non…”
“Ochi, pak, Ochi... Kan udah dibilang tadi, hihi..”
“Hehe.. maaf, non, eh Ochi. Ngomong-ngomong, Ochi habis ngapain? Kok keringatan gini?” tanya Bapak itu penasaran melihat kak Ochi bermandikan keringat.
“Habis olahraga, Pak, kan biar tetap sehat dan cantik.. hihi.” jawab Kak Ochi dengan wajah diimut-imutkan.
“Iya, non Ochi cantik benar.”
Kakakku tertawa renyah mendengar pujian bapak ini. “Hihi, makasih, Pak. Paaakk… ayo diminum dong tehnya…” Masih bisa saja kakakku ini ramah tanpa risih sedikitpun, padahal dari tadi mata bapak itu sudah kelayapan kemana-mana. Bahkan kini tidak segan lagi memandangi paha putih mulus kakakku. Hatiku merasa tidak karuan. Takut juga aku kalau kakakku sampai diapa-apakan olehnya, tapi aku juga horni melihat tingkah binal kakakku ini.
Melihat Pak Ahmad tidak juga minum, Kak Ochi inisiatif duluan meminum teh manis yang masih tampak beruap itu. Jadilah tubuh kakakku makin berkeringat karenanya, sepertinya dia memang berniat menunjukkan tubuhnya yang keringatan dengan pakaian minim itu pada pak Ahmad. Tentu saja membuat Pak Ahmad makin grogi dan makin sering membetulkan celananya.
“Panas ya, pak? Mau Ochi tiupin tehnya?” tawar kak Ochi, aneh-aneh aja.
“Eh, gak usah, Chi..” Dia pun akhirnya meminum teh hangat itu. Bapak itu jadi ikutan berkeringat karenanya. Sebenarnya tanpa minum teh itupun bapak itu juga sudah keringatan dari tadi, pemandangan di depannya kayak gitu sih.
Perasaanku makin tidak karuan saja melihat kakakku yang cantik bening lagi keringat-keringatan berdua dengan pria tua itu. Melihat pemandangan ganjil ini aku dari tadi hanya mengelus-ngelus anuku sendiri. Duh… Kak.. adekmu udah gak tahan nih, udahan dong…
“Non Ochi, Bapak permisi ke kamar mandi yah…” kata pak Ahmad.
“Silahkan, Pak… tuh di belakang, terus aja… udah gak tahan yah, pak?” goda kakakku sambil tersenyum manis pada bapak itu. Aku jadi geleng-geleng kepala. Binal amat kakakku ini, diperkosa baru tahu rasa dia.
Bapak itu pun masuk ke kamar mandi, sedangkan kakakku masih menunggu disana. Kak Ochi lagi-lagi menoleh ke arahku dan mengedipkan matanya lagi dengan nakal. Apa yang aku lihat kemudian membuat aku berhenti bernafas, kak Ochi menanggalkan tanktopnya!! Kini dia telanjang dada disana!! Gila! Sungguh nekat. Ini sih melebihi fantasiku.
Sungguh nakal kakakku ini. Apa jadinya kalau Pak Ahmad tiba-tiba keluar dari kamar mandi dan menemukan Kak Ochi sedang telanjang dada. Aku yakin pasti langsung diperkosa tuh kakakku tanpa ampun.
Ternyata cukup lama juga bapak itu di kamar mandi, mungkin dia sedang menuntaskan birahinya. Bagus deh, dari pada kakakku yang jadi korban. Setelah sekian lama, gagang pintu kamar mandi tampak bergerak, dengan secepat kilat kak Ochi mengenakan kembali tanktopnya. Fiuuhh… nafasku betul-betul sesak, hampiiiiir saja. Aku kira Kak Ochi akan benar-benar telanjang dada di depan bapak itu.
“Non Ochi.. bapak pamit dulu yah.. ntar keburu malam,” kata Pak Ahmad ketika kembali ke depan.
“Ohh.. ya udah kalau gitu, Pak,” kata Kak Ochi sambil berdiri lalu mengantar bapak itu ke depan. Aku tidak dapat melihat mereka berdua karena kak Ochi mengantar sampai keluar rumah, ada sekitar sepuluh detik aku tidak melihat dan mendengar apapun. Aku panik dan hatiku tidak karuan. Aku sampai berpikir yang tidak-tidak.
“Makasih banyak yah, non,” kata Pak Ahmad terdengar kemudian.
“Iya, pak, sama-sama.” tampak Kak Ochi masuk kembali ke rumah. Pintu pun tertutup. Akhirnya berakhir juga. Aku betul-betul lega karena tidak sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, tapi itu tadi betul-betul nekat, pake acara telanjang dada lagi. Tapi yang bikin aku penasaran itu apa yang dilakukan mereka berdua selama sepuluh detik di luar. Ah sudahlah, sepertinya tidak ada yang aneh.
Aku pun keluar dari tempat persembunyianku. Aku sudah tidak kuat lagi menahannya. Setan dalam pikiranku berteriak-teriak, “Exe kak Ochi! Exe kak Ochi! Exe kak Ochi!” Segera kuhampiri Kak Ochi dan memeluknya.
“Adeeeeekkkk… apaan sih, kontrol diri! Adeeeeekkk!” teriaknya sambil mendorong-dorong tubuhku.
“S-sorry, kak,” Akhirnya kulepaskan pelukanku. Untung aku masih bisa kontrol diri, kalau tidak sudah ku exe dia.
“Dasar kamu…. Gimana, dek? Puas? Suka gak liat pertunjukan barusan?” godanya.
“I-iya, kak…” jawabku sambil mengocok penisku dengan cepat di depannya.
Dia tertawa kecil melihat tingkahku yang nafsunya sudah di ubun-ubun ini. “Pengen ngecrot yah? Dah gak nahan yah, dek?” godanya melirik nakal ke arahku.
“I-iya, Kak… boleh lagi yah kali ini?” pintaku memelas.
“Hmm? Boleh ngapaiiin? Ngepejuin muka kakak lagi?” tanyanya dengan masih memasang wajah yang dibuat semenggoda mungkin.
“Iya, kak… Plisssss… mau yah? Mau yah?” desakku.
“Dasar,” Dia pun duduk bersimpuh di lantai, tepat di hadapanku. Yuhuuu… dia mau!
Wajah cantiknya yang masih berkeringat menengadah ke atas memandangku, tentu saja dengan senyuman super manis andalannya itu. Sungguh menggoda dan membuatku tidak tahan. Apalagi dari atas sini aku dapat melihat buah dadanya dari sela lubang leher tanktopnya. Kukocok penisku di depan wajahnya itu. Tidak butuh waktu lama memang karena aku sudah menahannya mati-matian dari tadi.
“Croooottt…. Crooooot…. Crooooot...” Pejuku muncrat-muncrat tidak karuan ke wajah kak Ochi yang masih keringatan.
“Kak Ochiiiiiiiiii… Arggghhhhhh…” aku melenguh kuat karena sensasi kenikmatan yang luar biasa, soalnya dari tadi sudah kutahan-tahan, akhirnya lega juga.
“Ngmmmhhhh…” Dia ikut-ikutan mengerang dengan mulut tertutup, mungkin terkejut dengan banyaknya spermaku yang tumpah di wajahnya.
Aku yang mendengar lenguhannya itu makin membuatku horni, rasanya tidak ingin saja aku berhenti menyemprotkan spermaku ke wajahnya itu. Jadilah wajah kakakku makin berantakan karena pejuku. Sebuah sensasi yang luar biasa melihat keringatnya dan spermaku bercampur di wajahnya yang cantik.
“Iiihhh… banyak amat giniiii,” rengeknya manja setelah ejakulasiku berhenti.
“Makasih yah, kak… hehe…. Enak bener,” kataku puas.
“Tisuuuuu… cepetaaaaannn…. bau nihhhhh...” teriaknya.
“Iya, iyaaaahhh.” Segera aku berlari mengambil tisu dan menyerahkannya pada kak Ochi.
“Ish… Please deh, dek… peju kamu itu gak bau dan gak banyak bisa gak?” katanya dengan wajah dicemberutkan, lalu membersihkan wajahnya itu yang begitu belepotan pejuku.
“Hehe.. gak bisa kayanya, kak, kakak sih cantik dan seksi gini…”
“Rese kamu.. gom-bal,” katanya sambil melempar tisu bekas itu ke arahku.
“Udah sana pakai celanamu! kakak mau mandi, gerah banget…” katanya.
“Kan seksi kak keringat-keringatan gitu, bau badan kakak juga lebih menggoda, hehe…” godaku karena masih ingin melihatnya seperti itu.
“Lama-lama kan gak enak juga dek, lengket banget rasanya kulit kakak.” katanya sambil mengusap-ngusap lehernya. “Udah yah, adekkuuu,” katanya lagi sambil mengelus pipiku. “Lain kali lagi yaaaah…” sambungnya sambil tersenyum manis.
Luluh deh hatiku, akhirnya aku iyakan juga. Lagian aku juga sudah keluar banyak amat barusan, sampai lututku lemas. Aku pun terduduk puas di kursi terdekat, makin lama makin luar biasa saja yang dia berikan dan tunjukkan padaku. Entah apa lagi selanjutnya. Betul-betul beruntung aku punya kakak cewek sepertinya.
“Dek…” panggilnya lirih sebelum masuk ke kamar mandi.
“Ya, kak?”
“Mau mandi bareng?”
JEDAR!! Apalagi ini!!? Sebuah penawaran yang tentunya membuat penisku kembali bangun dan bersorak gembira.
“Adeeeeekkkk? Kok bengong sih? Mau nggaaaak?” tanyanya sekali lagi dengan nada merdu.
“Eh, b-beneran, kak? M-ma-mau…” aku tergagap kesenangan. Siapa juga sih yang gak mau diajak mandi bareng cewek secantik kakakku.
“Ber-can-da kok,” Dia menutup pintu kamar mandi.
Sialan...!!!

***

Pagi harinya…
Dengan muka ngantuk aku turun dari tempat tidurku, mengambil handuk dan bersegera mandi untuk siap-siap sekolah. Aku masih rada kesal karena kemarin kak Ochi hanya bercanda saja ngajak mandi bareng, padahal aku ngarep banget. Malam tadi aku juga lagi-lagi tidur sendiri, setidaknya diganti tidur bareng kek gitu.
Saat aku keluar kamar, ternyata kak Ochi juga baru keluar dari kamarnya, dia juga sedang menenteng handuknya yang menandakan dia juga mau mandi. Kami saling pandang, sepertinya kami memikirkan hal yang sama saat itu. Kamar mandi cuma satu dan kami sama-sama ingin mandi saat ini. Yang cepat dia menang!!
Segera aku berlari menuju kamar mandi secepat kilat. Dia juga tidak mau kalah dan ikut berlari mengejarku. Tentu saja aku yang menang.
“Adeeeeeekkkkk!!! Kakak dulu yang mau mandiiii!!! Ngalah dong sama cewek!!” teriaknya kesal karena aku yang duluan sampai di kamar mandi.
“Hahaha.. bodo!” aku banting pintu di depan wajahnya.
“Reseeeeeeeeeeee!!!”
Hore… puas rasanya bikin dia kesal, dia kira cuma dia yang bisa bikin kesal. Aku tertawa puas penuh kemenangan di dalam sini.
“Deeeeekk!! Kakak mau kuliah iniiii… ntar telat!! Adekkk!!” teriaknya tidak henti-hentinya sambil terus menggedor-gedor pintu. Aku sih cuek saja dan mulai menanggalkan bajuku, dia kira dia doang yang takut telat.
“Cepetan deh kalau gitu kamunya.. dasar,” katanya akhirnya pasrah dan mengalah. Dia memang kakak yang baik. Kasihan juga sih sebenarnya, tapi biarlah.
“Cepetan… jangan pake acara coli segala kamu…” teriaknya lagi beberapa saat kemudian, cerewet amat kakakku ini. Godain ah…
Aku buka pintu kamar mandi dan mengeluarkan kepalaku, tampak dia sedang duduk menunggu di ruang tengah. “Kak….” Panggilku, ekor matanya melirik ke arahku. Sepertinya dia masih kesal.
“Ya? Apa?”
“Kalau mau masuk, masuk aja, kak.. Kan udah lama gak mandi berdua.. hehe..” kataku untung-untungan.
“Gak! ntar yang ada kakak malah mandi peju kamu! Cepetan aja mandi sana,”
“Hehe.. Gak kok, kak… Janji deh gak macam-macam. Ntar kakak telat lho… Aku masih lama lho mandinya,” kataku cari-cari alasan dengan niat cabul terselubung. Dia melirikku dengan curiga sambil mengangkat alisnya, sepertinya dia tahu kalau aku memang berniat berbuat mesum padanya.
“Gak!” jawabnya jutek. Wah, dia masih kesal aja. Baru juga nyelonong masuk ke kamar mandi, gimana kalau sampai nyelonong masuk ke vaginanya. Ya sudahlah gak berhasil ternyata, kututup lagi pintu kamar mandi dan melanjutkan mandiku.
Hanya terjadi hal-hal biasa setelah itu, aku bersiap ke sekolah sedangkan dia bersiap ke kampus. Seperti biasa, pakaiannya selalu tertutup dan berjilbab, membuat dia terlihat sangat anggun dengan tampillan seperti itu.
“Nih, dek, sarapan dulu… mamam yang banyak,”
“Iya, kak….” Wah, dia tidak marah lagi. Dia memang kakakku yang paling baik deh.
“Napa kamu, dek? senyum-senyum gitu liat kakak?” tanyanya heran.
“Hehe.. gak apa kok, kak.”
Dia juga balas senyum padaku, manisnya. “Dasar kamu,” dengan gemas dia acak-acak rambutku sampai kusut.
“Kaaaakkkk… kusut lagi ini rambutku!”

***
Sore menjelang malam, aku bersiap untuk mandi sore. Entah kebetulan atau memang takdir, lagi-lagi kami berpapasan saat akan mandi.
“Nah… sekarang kakak yang duluan,” ujarnya padaku.
“Ngalah dong kak, sama yang lebih kecil,” balasku.
“Kamu tuh yang harusnya ngalah sama cewek!” balas Kak Ochi tidak mau kalah.
“Gak ah, kakak mandinya lama… aku mau pergi main sama teman-teman nih bentar lagi…” kataku beralasan. Rencananya memang aku mau pergi main malam mingguan bareng teman-temanku.
“Kakak mandi lama? Kamu kaleee…. Yang tiap mandi ngocok mulu! Sampai cepat gitu habis sabun.. hihihi,” katanya membuka aibku.
“Nah… kalau gitu-”
“Apa! Ngajak mandi bareng lagi?” potongnya, tahu saja dia isi pikiranku.
“Hehehe… tau aja. Mau yah, kak?”
“Gak!”
“Yah… mau dong, kak… ntar aku cucuin lagi deh baju-bajunya kakak…” bujukku. Dia masih diam.
“Kakak cantik… ayo dong…” godaku terus. Dia melirik heran padaku, hingga akhirnya dia jadi tertawa melihat tingkahku ini.
“Hihihi.. Apaan sih kamu, dek? Segitunya kepengen mandi bareng…”
“Hehehe… ayo lah, kak…”
“Hmm… Janji gak bakal macam-macam?” tanyanya.
“Janji,”
“Sumpah?”
“Suer, suer, suer,”
“Hihihi… dasar… Ya udah bareng, untung aja kamu adek kakak sendiri, kalau orang lain gak bakal kakak kasih.”
Yuhuuu… Dia mau juga!
“Senang kamu, dek? Nih… Kakak turuti lagi fantasimu… Biar puas kamu gak cuma bisa ngayal doang mandi bareng sama kakak, tapi inget… jangan macem-macem!” sambungnya lagi.
“Eh, i-iya, kak… janji… gak bakal macam-macam kok," Yes, fantasi mesumku akan terwujud satu lagi. Mandi bareng dengan kakak kandungku yang super cantik. Sudah lama rasanya tidak mandi bareng dengannya, terakhir kali waktu kami masih SD kalau gak salah.
“Ya udah.. ayok, dek… kita bugil-bugilan di kamar mandi.. hihihi…” ajaknya dengan senyum manis. Glek, aku menelan ludah mendengarnya. Mulai lagi dia keluarin jurus godaan maut andalannya, yang tentu saja membuat aku jadi berdebar-debar mendengar suara serta melihat ekspresi wajahnya itu.
“A-ayo, kak,”
“Yakin nih, dek? Ntar kita didalam telanjang-telanjangan loh? Kuat gaaak?” suaranya sungguh merdu dan menggoda saat mengucapkan itu. “Trus kita juga bakal basah-basahan…. Di dalam juga sempit kan? kuat gak kamu?” sambungnya lagi, membuat aku menelan ludahku berkali-kali. Gila, belum masuk aja aku udah tegang bukan main karenanya. Kutarik juga dia masuk ke dalam, lama amat sih, keburu muncrat duluan aku kalau kelamaan.
“Aduduh, sabar dek, sabar. Pelan-pelan napa?”
Kini di dalam kamar mandi sudah ada kakakku yang cantik, akhirnya. Segera aku lepaskan seluruh pakaianku hingga aku bugil lagi di depannya. Dadaku berdebar kencang, penisku tegang berdenyut-denyut. Dia sepertinya tahu kalau aku lagi mati kesenangan saat ini. Dia senyum-senyum saja melihat tingkahku.
“Pintunya kakak tutup yah, dek…” katanya lalu menutup pintu kamar mandi dan menguncinya. Kemudian menoleh ke belakang melirikku sambil tersenyum, membuat aku lagi-lagi jadi menelan ludah.
“Nah… sekarang kita terkurung deh di sini, cuma ada kamu dan kakak,” katanya berbisik. Gaya dan nada bicaranya itu membuat aku jadi berdebar-debar. Aku tidak tahu apa aku bisa bertahan lama di sini.
“Hihihi.. napa, dek?”
“G-gak apa, kak, cuma-”
“Horni ya?” potongnya.
“Eh, D-dikit.. hehe,”
“Dikit? Kok udah tegang gitu anu-mu?” tanyanya sambil melirik penisku yang mengacung-ngacung ke arahnya. Aku hanya cengengesan saja, soalnya emang gak dikit sih, horni banget malah.
“Dek… Bisa kontrol diri kan? kakak bakal telanjang di depan kamu lho ini.. kamu bebas kalau mau ngelihat, tapi gak boleh macam-macam… oke adekku?” ujarnya mengingatkan. Apa sih maunya, nyuruh gak macam-macam tapi menggodaku sampai segitunya.
“I-iya, kak,” jawabku. Aku iya-iyakan saja, soalnya aku sudah tidak sabar melihat tubuh telanjangnya lagi.
Dia mulai membuka pakaiannya, dimulai dari membuka ikat rambutnya sehingga rambut sebahunya tergurai indah. Lalu dia buka baju kaosnya. Yang membuat aku makin horni karena dia membukanya perlahan, sambil tersenyum manis kepadaku pula. Akhirnya bajunya terbuka dan bagian atas tubuhnya kini sudah telanjang di hadapanku. Tampak buah dadanya yang sekal menggantung dengan indahnya pada kulit dadanya yang putih, dihiasi puting merah muda yang berdiri mancung.
Tidak peduli dengan aku yang begitu horni melihat keadaan dirinya, kini dia mulai membuka perlahan celana pendeknya itu sekaligus dengan celana dalamnya. Saat bagian vaginanya akan terlihat, dia melirik padaku dan tersenyum manis. Duh, sangat seksi.
Dia tarik lagi ke bawah celananya perlahan-lahan, hingga celana itu jatuh menggantung di mata kakinya dan memperlihatkan vaginanya.
Akhirnya kini dia telanjang polos di depanku, mataku rasanya tidak ingin beranjak darinya. Buah dadanya, vaginanya, lekuk tubuhnya, semuanya kupandangi puas-puas dari jarak sedekat ini.
“Dek? Udah mandi lagi sana.. liatin kakak mulu,” katanya padaku yang masih saja asik memperhatikan tubuhnya. “Adeeeekk!! Kok bengong?”
“Eh, nggak, kak..”
“Ya udah mandi dong.. lama-lama telanjang ntar kita masuk angin lho.. cepetaaaaan!!”
Tapi mana bisa aku konsentrasi mandi sekarang ini, melihat sosok indah telanjang bulat berada di sampingku, yang ada aku malah jadi birahi.
“Lama amat kamu...” melihat aku yang dari tadi tidak bergerak diapun mengambil gayung dan menyirami tubuhku berkali kali, jadilah aku malah dimandikan kakakku.
“Duh, kak.. pelan pelan, masuk hidung nih..”
“Kamu sendiri yang lama, udah… biar kakak aja deh yang mandiin kamu..” katanya sambil terus mengguyurku dengan air dingin. Enak benar.
“Jongkok, dek, biar bisa kakak siramin rambutnya.”
Aku pun jongkok dibawahnya, dengan posisi seperti ini aku malah berada tepat di depan vaginanya yang mulus, sepertinya baru dicukur. Gila sensasinya!! Dia sepertinya tahu aku kesenangan di bawah sini, tapi dia cuek saja karena aku memang tidak ngapa-ngapain selain melihat doang. Dia lumuri rambutku dengan shampo kemudian membasuhnya lagi.
“Udah, dek.. berdiri deh, sampai kapan mau di sana terus?” suruhnya, akupun berdiri.

“Sabunin dong, kak…” pintaku.
“Iyaaaa… ini juga mau kakak sabunin,” Dia lalu mengambil sabun dan mulai menyabuni badanku. Telapak tangannya yang sangat lembut menyentuh kulitku, betul-betul nikmat. Saat sampai menuju penisku dia menghentikan aksinya, sepertinya dia ragu untuk menyabuni bagian itu.
“Napa, kak? Gede ya? Sabunin juga dong.. hehe,” pintaku mesum.
“Jangan ge-er kamu ya…” dia membelai penisku! Akhirnya aku merasakan belaian tangannya di penisku, membersihkan seluruh bagian penisku dengan tangannya yang berlumuran busa sabun, termasuk buah zakar dan rambut kemaluanku, bahkan batang penisku yang lagi tegang juga dikocoknya. Gila! nikmat betul! Begitu halus telapak tangannya.
“Ngghhh… kak… oohhh….” lenguhku kenikmatan.
“Napa sih kamu, dek?”
“Enak… lebih cepat dong kak ngocoknya…”
“Hah? Malah keenakan kamu, dasar… udah ah,” katanya melepaskan tangannya dari batang penisku. Tentu saja aku kecewa, kentang soalnya. Aku berharap dia terus mengocoknya sampai muncrat.
Dia ambil gayung dan mulai mengguyur tubuhku lagi. Dia cuek saja melihat adeknya ini yang begitu mupeng pada dirinya. Aku yang merasa tanggung melanjutkan mengocok penisku sendiri dengan tanganku sambil terus diguyur air olehnya.
“Hei, dek, udah kakak bilang jangan macem-macem.” katanya karena melihat aksiku. Dia lalu mulai mengguyur tubuhnya sendiri.
Aku hanya berdiri saja melihat dia yang basah-basahan di depanku. Penisku menegang sejadi-jadinya melihat tubuh telanjangnya yang basah itu di depanku. Rasanya ingin sekali menggenjot tubuhnya saat ini juga, tapi aku masih berusaha untuk terus menahan diri dan tidak berbuat macam-macam. Dia yang sepertinya sadar aku sedang horni berat padanya malah tersenyum-senyum kecil padaku, lalu mengedipkan matanya dengan nakal.
“Aaahhh, aku tidak tahaaaaan!!” Kuterkam dirinya dan kupeluk tubuhnya yang basah itu, membuat gayung yang dipegangnya jadi terjatuh ke lantai.
“Adeeeekkk!!” jeritnya terkejut karena aku yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Stop.. apa-apaan sih kamu… geliii, deekk”
Apa? Malah geli? Aku jadi tambah bernafsu memeluknya lebih erat.
“Itu kamu gesek-gesek di bawah!! Ngeganjal banget, dek.. Adeeekkk!!” Dia ambil air di dalam bak mandi dengan tangannya dan mencipratkannya ke wajahku berkali-kali seperti dukun yang mengobati pasiennya, aku jadi gelagapan karenanya. Melihatku yang megap-megap dianya malah tertawa-tawa, padahal dia masih dalam pelukanku.
“M-maaf, kak.. khilaf,” kataku akhirnya tenang tapi masih tetap memeluknya.
“Kamu ini… udah kakak bilang kontrol diri..” katanya akhirnya melunak dan tidak lagi berusaha melepaskan pelukanku. “Ya udah.. cepetan..”
“Cepetan apa, kak?”
“Kamu udah gak tahan kan sebenarnya sampai meluk-meluk kakak? Jadi… kakak bolehin deh..”
“Glek, B-boleh apa nih, kak?” tanyaku, aku penasaran apa dia bakal ngebolehin aku nyetubuhi dia.
“Mikir apa kamu? Bolehin meluk kakak sampai kamu muncrat!! Itu doang..”
“Ohh.. gitu ya… hehe,”
Yah.. ternyata tidak, gak apa-apa deh, daripada tidak sama sekali, soalnya aku sudah gak tahan amat. Aku rebahkan kepalaku di bahunya sambil tetap memeluknya dari belakang. Mencoba meresapi rasa nyaman dan indah penuh kemesuman ini. Penisku yang sedari tadi betul-betul sudah tegang kugesek-gesekkan dengan sengaja di belahan pantatnya. Dia sepertinya menyadari aksi cabulku, tapi tetap dibolehin juga dan tidak mempermasalahkannya.
“Dek.. jangan sampai nyelip masuk lho… gak lucu kan kalo kakak sampai gak perawan lagi gara-gara adek sendiri,”
“Iya, kak..” aku lega dia tidak keberatan dengan aksi gesek-menggesekku, aku kini makin mempercepat tempo goyangan pinggulku.
“Kak?”
“Hmm? Apa?”
“Nggmm… boleh pegang.. ngmmm… susu kakak?” tanyaku takut-takut.
“Susu kakak? Dasar.. Makin ngelunjak aja kamu. Ya udah.. tapi pelan-pelan aja kalau mau ngeremas, jangan kencang-kencang,”
“I-iya… Makasih kakak sayang..” kataku kesenangan hingga dadaku berdebar, dia hanya tersenyum saja. Kuyakin dia mengetahui debaran jantungku yang makin kencang saja. Walau sudah dibolehkan, ternyata tanganku gemetaran juga untuk menggapai buah dadanya, itu karena kali ini aku akan meremasnya langsung tanpa tertutup kaos seperti waktu itu. Apalagi kini kami sedang berbugil ria di dalam kamar mandi yang sempit, basah-basahan lagi.
“Hihi.. gugup yah, dek? Nih…” dia mengambil tangan kananku dan meletakkannya ke buah dadanya!! Gila, begitu lembut, kenyal dan pas di tangan. Aku goyangkan lagi pinggulku, kali ini sambil tangan kananku meremas buah dadanya sedangkan tangan kiriku tetap memeluk pinggangnya yang ramping. Kalau dilihat di cermin kami terlihat seperti sedang bersetubuh. Kakakku juga ikut-ikutan melihat ke cermin dan tersenyum manis padaku melalui cermin, mana tahan!
“Dek.. ntar kamu mau keluarin dimana? Di muka kakak lagi?” tanyanya memandangku melalui cermin.
“Hmm.. enaknya dimana yah, kak? Hehe,”
“Terserah kamu dong.. kamu punya khayalan muncrat di mulut kakak gak, dek? pengen coba?”
Ctar!! Boom! Bastis! Rasanya aku mau meledak saja mendengar penawarannya itu. Siapa juga yang tahan mendengar penawaran seperti itu dari seorang gadis cantik sepertinya, dan siapa juga yang bakal nolak. Soalnya waktu onani aku memang sering ngayal muncrat di mulutnya, aku tidak menyangka akan jadi kenyataan. Tapi tunggu dulu, jangan-jangan dia cuma menggoda lagi.
“Serius ini, kak?” tanyaku menatap curiga padanya.
“Hahaha… tenang aja dek, kakak gak becanda kok… Hmmm… tapi gak kakak telan yah? Dan cuma sekali ini aja,”
“I-iya, kak, gak papa.” Gila! aku kesenangan bukan main, ini akan menjadi salah satu hari yang tidak akan pernah aku lupakan.
Aku teruskan aksiku, menggesek-gesekkan penisku yang tegang ke belahan pantatnya. Kini aku juga mulai menyelipkannya di antara pangkal pahanya yang membuat batang penisku jadi bergesekan dengan permukaan vaginanya. Dia berkali-kali kaget dan melirikku melalui cermin karena beberapa kali penisku hampir masuk menyelip ke vaginanya. Namun karena tidak benar-benar masuk, dia tidak mempermasalahkannya lagi dan membiarkan saja aku tetap menikmati permainanku ini padanya. Tanganku juga makin lama makin kencang saja meremas buah dadanya hingga dia mulai merintih-rintih, tapi kulihat dia tidak berusaha menolak dan tetap memperbolehkan aksiku itu padanya. Mungkin dia juga merasa keenakan. Suara rintihannya terdengar sangat indah dan merdu di telingaku, membuat aku semakin tidak tahan.
“Kak.. mau keluar...”
“Hmm? Ya udah, lepasin dong pelukannya.. katanya mau keluarin di mulut kakak..”
“I-iya, kak..” aku lepaskan pelukanku dari tubuhnya.
Kini dia bersimpuh di bawahku dan membuka mulutnya lebar-lebar. Kuarahkan penisku ke depan mulutnya yang menganga. Sungguh pemandangan yang membuat darahku berdesir, kakakku yang cantik sedang telanjang bersimpuh di bawahku dan siap sedia memperbolehkan aku untuk ejakulasi di mulutnya. Kupercepat kocokan penisku dengan tanganku sendiri, kepala penisku sudah berada dibibirnya dan siap memenuhi rongga mulut kakakku dengan pejuku.
“Kak… keluaaaarrrr.. arrggghhhh..” lenguhku kenikmatan.
“Croooot… crooott...” Spermaku meluncur dengan derasnya ke dalam mulutnya, bertubi-tubi menghantam langit-langit mulutnya. Saat menerima tembakan laharku matanya selalu menatap mataku sambil berusaha tersenyum, membuat aku makin kelojotan dan rasanya tidak ingin berhenti memenuhi rongga mulutnya dengan pejuku.
“Argghhh.. kaaaakkk… enak,” erangku kenikmatan hingga tubuhku bergelinjang.
Akhirnya semprotan itu berhenti. Kulihat sungguh banyak cairan itu memenuhi rongga mulutnya. Spermaku juga sampai berlumuran di sekitar area kumis dan dagunya. Puas menunjukkan spermaku yang ada di mulutnya, akhirnya dia tumpahkan sperma itu ke lantai tidak lama kemudian.
“Huekkk.. bau dek peju kamu, trus banyak lagi.. Hiii.. untung gak ketelen,” katanya dengan wajah menunjukkan kejijikan, aku tertawa cengengesan saja melihat tingkahnya itu.
“Hehehe.. sorry, kak,”
“Ya udah.. puas kan? udah plong kan?”
“Iya.. hehe,”
“Ya udah sana, jangan macam-macam lagi. Kamu udah selesaikan mandinya? Kakak masih belum ini..”
“Gak apa nih kak, ditinggal sendiri?”
“Iya.. bagus malah, ntar kamu macem-macem lagi… udah sanaaaa,” katanya mendorongku. Akupun membuka pintu hendak keluar. “Bentar, dek.. nanti tolong bawain kakak handuk yah habis kamu pake baju, jatuh tadi waktu ngejar kamu. Trus tolongin sekalian bawain nih baju kotor kakak,” katanya memberikan pakaian kotornya padaku.
“Iya, iya..”
“Dugh,” pintu pun tertutup.
Aku langsung menuju kamarku untuk berpakaian. Sungguh luar biasa apa yang aku alami barusan. Bisa menembakkan isi pelerku ke dalam mulut kakakku yang cantik tapi nakal itu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebelumnya cuma di muka, sekarang di mulutnya, selanjutnya? Entahlah.
“Tok-tok-tok,” selang beberapa lama terdengar suara ketukan dari pintu depan.
Ternyata teman-temanku sudah datang, cepat amat. Segera aku keluar setelah berpakaian dan membukakan pintu, tampaklah wajah-wajah buruk rupa milik temanku ini, si Ucup, Toni, Yanto dan Bono. Kami pun asik mengobrol di ruang depan. Sedang asik-asiknya ngobrol tiba-tiba si Bono berteriak sambil menunjuk sesuatu di belakangku.
“Woi, bro.. lihat tuh,” sorak Bono.
Aku pun menolehkan kepala ke belakang. Kakakku Ochi sedang lari bugil di dalam rumah!! Duh, kelupaan! Aku baru ingat kalau kakakku sedang menungguku membawakan handuk dari tadi. Pasti dia bosan menunggu hingga akhirnya nekat lari ke kamarnya bertelanjang bulat seperti itu. Entah dia tahu saat ini sedang ada teman-temanku atau tidak. Beruntunglah mereka yang buruk rupa ini dapat melihat tubuh telanjang kakakku yang cantik. Aku jadi merasa bersalah pada kakakku, dia pasti marah nih...
Tapi kulihat kakakku malah melihat ke arah kami dan tersenyum!! dan karena tidak melihat ke depan, dia malah tersandung kaki meja dan tersungkur jatuh (kapok... binal sih).
Sontak aku langsung bangkit dan menghampirinya, bahkan teman-temanku ini juga ikut-ikutan menghampiri. Jadilah kini tubuh telanjang kakakku dikelilingi oleh kami berlima. Buah dada, putingnya, vagina semuanya terlihat jelas oleh kami. Rasanya gimanaaaa gitu melihat kakakku yang cantik bening dan lagi telanjang bulat sedang dikelilingi oleh teman-temanku yang buruk rupa dan dekil ini. Suasananya seperti kakakku akan digangbang oleh kami beramai-ramai.
“Gak apa, kak? Kakak sih liatnya kemana aja…” kataku sambil menarik tangannya untuk bangkit, masih lembab dan terasa sangat licin tangannya.
“Duuuuh… kamu yang kemana aja dari tadi ditungguin, mana handuk kakak?” kata kak Ochi membungkuk sambil mengelus-ngelus pergelangan kakinya yang tersandung tadi. Temanku yang berada di belakang Kak Ochi tentu saja dapat melihat belahan vagina dan lubang pantat kakakku itu.
“Hehe.. lupa, kak.. maaf deh...” jawabku.
“Huh!!” sungutnya dengan wajah kesal, imutnya.
“Gak apa, kak?” tanya mereka sok perhatian layaknya anak baik-baik, padahal kuyakin saat itu pikiran mesum mereka sedang melambung tinggi karena melihat sosok telanjang kakakku di tengah-tengah mereka.
“Iya, gak apa.. makasih yah…” jawab kak Ochi cuek tidak peduli kalau tubuh telanjangnya sedang dipelototi mata-mata nakal mereka.
“Ada yang sakit, kak? Biar saya pijitin deh..” tawar Bono sok bisa mijit.
“Udah, gak apa-apa kok.. kakak ke kamar dulu,” kata kak Ochi. Dia pun kembali ke kamarnya, berlari kecil sambil menutupi tubuh telanjangnya seadanya dengan tangan.
“Awas, kak, ntar jatoh lagi lho.. hehe,” ujar Ucup, kakakku hanya tersenyum saja menoleh ke arah kami.
Beberapa saat kemudian dia keluar dari kamarnya. Pakaiannya? Dia pakai baju gamis dengan celana panjang serta memakai jilbab. Kali ini berlawanan dengan yang tadi, yang mana tadi telanjang bulat memperlihatkan seluruh tubuh termasuk vaginanya kini malah begitu tertutup. Betul-betul kontras. Sepertinya dia juga mau keluar malam mingguan main bareng teman-temannya. Tapi tunggu, puting susunya nyetak di bajunya!! Dia tidak makai bh!! Apa-apaan sih kakakku ini.
“Dek, itu teman-temanmu belum dikasih minum dari tadi? Gimana sih kamu,” ujar Kak Ochi melihat tidak ada apa-apa di atas meja.
“Eh, iya yah… sorry bro, tolong buatin minum dong, kak…” suruhku.
“Iya-iya… Kalian mau minum apa?” tanya kakakku ramah menawarkan minum.
“Susu murni ada gak, kak? Hehe,” kata Ucup sambil lancang melihat ke buah dada kakakku, sepertinya dia sadar kalau kakakku tidak memakai apa-apa lagi di balik pakaian itu. Kakakku sepertinya juga tahu kalau mata si Ucup memandang ke dadanya, tapi dia cuek aja, nakal amat kakakku ini.
“Gak ada tuh.. yang lain aja yah?”
“Kasih minyak goreng panas aja mereka, kak..” kataku kesal, kakakku tertawa renyah mendengarnya.
“Ya udah, bentar deh.. sirup dingin aja yah?” ujar kakakku beranjak menuju dapur.
“Mau dibantuin gak, kak?” tawar Bono.
“Hihi.. Kalian emang anak yang baik-baik yah.. jadi senang kakak sama kalian, tapi gak usah deh.. biar kakak aja,” jawab Kak Ochi ramah.
Apanya yang anak baik, kakakku gak tahu aja apa yang ada di pikiran mereka. Tapi sepertinya kak Ochi emang tahu deh apa yang sebenarnya dipikirkan teman-temanku ini pada dirinya. Dia pun ke dapur sedangkan kami melanjutkan ngobrol.
“Nih dek, minumnya,” dia kembali beberapa saat kemudian membawa nampan dengan gelas-gelas berisi minuman.
“Makasih, kak..” jawab mereka hampir serentak.
“Kak.. Bono ngefans banget loh sama kakak.” kata Bono tiba-tiba. Kampret nih si Bonbon, apa sih maksudnya.
“Yanto juga,”
“Aku juga, kak,” kata mereka saling berebutan tidak mau kalah menyampaikan isi hatinya. Gaya mereka seperti menembak kakakku aja. Tidak heran sih kalau kakakku menjadi idaman para pria. Udah baik, cantik lagi. Apalagi bagi teman-temanku yang sudah sering melihat tubuh kakakku dengan pakaian minim, bahkan tadi sempat melihat tubuh telanjangnya.
“Hah? Iya yah? Makasih banget kalau gitu.. gak nyangka kakak.. hihihi,”
“Iya, kak… kakak cantik sih… mau pake jilbab atau nggak sama-sama cantik, apalagi…. kalau telanjang kaya tadi… hehe,” ujar si Ucup kurang ajar.
“Huuu… dasar, makasih deh, anggap aja tadi itu hadiah untuk fans-fansnya kakak.. hihi,”
“Hehe… pengen deh sering-sering ke sini biar dapat hadiah terus… sayang rumahku jauh,” ujar Toni yang paling jarang main ke rumah.
“Iya, main aja dek sering-sering ke sini, gak apa kok… siapa tahu kalau kalian hoki bakal dapat hadiah,” kata kak Ochi meladeni obrolan nakal mereka dengan ramah. Apa-apaan sih kakakku ini.
“Ya udah.. kakak ke dalam dulu… santai aja yah kalian, anggap aja rumah sendiri,” kata Kak Ochi menuju ke kamarnya.
“Sip, kak..”
Kami pun lanjut ngobrol sambil menghabiskan waktu menunggu malam.
“Bro.. gue misi ke wc yah…” kata Ucup.
“Iya, lo udah sering juga ke sini, pake misi-misi segala. Tapi awas, jangan salah belok lo!” kataku padanya, dianya hanya cengengesan saja.
Asik ngobrol aku baru sadar kalau si Ucup belum kembali dari tadi, aku jadi berpikir yang macam-macam lagi. Beberapa saat kemudian barulah si Ucup kembali.
Saat kak Ochi terlihat lagi, kali ini dia sudah mengenakan baju yang berbeda, emang kemana bajunya tadi? Pikirku. Hal itu terjawab saat aku hendak ke kamar mandi pengen pipis, ternyata bajunya yang tadi ada di tumpukan pakaian kotor. Tapi tunggu… ada banyak noda putih berlumuran di kaosnya itu!! Dan aku yakin kalau itu sperma karena dari baunya yang menyengat!! tapi milik siapa? Ucup!! Ya.. pasti dia. Pantas saja dia lama tadi. Kepalaku jadi pusing membayangkan apa yang tadi terjadi antara mereka berdua.
“Cepat amat bro ke WC nya? Gue tadi malah lama amat… puas banget tadi keluar semuanya.. hehe,” kata Ucup cengengesan padaku saat aku kembali ke depan.
Kampret nih anak, dia pikir aku tidak tahu apa maksud perkataannya itu. Tapi aku penasaran juga kenapa kakakku mau saja membiarkan si Ucup melecehkannya seperti itu, sampai ngebolehin si Ucup numpahin spermanya ke baju kaosnya segala. Lagian setahuku baju kakakku itu baru dibeli minggu kemarin dan baru sekali tadi dipake, sekarang malah terkena cipratan pejunya si Ucup. Kakakku benar-benar nakal. Memikirkan itu entah kenapa penisku jadi tegang.

Tapi ya sudahlah, siapa juga yang bakal nahan melihat penampilan kakakku seperti itu, apalagi baru saja melihat kakakku yang telanjang. Masih untung dia cuma nyemprot di baju kakakku, coba kalau di vaginanya. Masa aku harus punya ipar kaya si Ucup, gak sudi banget. Okelah kali ini aku maafkan si Ucup, lebih dari ini akan kuhajar beneran dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.