“Eh yang itu cakep tuh..”
“Nggak ah cakepan yang kanannya.. Lebih imut...”
“Ah nggak nurut gue cakepan yang kiri..”
Ini kebiasaan teman-temanku setiap jam istirahat ketiga pada hari Kamis. Kami, siswa-siswi SMA, pulang sekolah pukul 13.30 setiap harinya; sementara siswa-siswi SMP sudah mengakhiri pelajaran pada pukul 11.45, bertepatan dengan jam istirahat ketiga kami.
Setiap saat itulah, teman-temanku berdiri bersandar di balkon dan menonton siswa-siswi SMP sekolah kami yang sedang berjalan pulang sekolah. Seringkali mereka mengomentari siswi-siswi mana yang imut atau cantik, dan terutama yang menurut mereka memiliki tubuh yang seksi. Beberapa temanku bahkan sering bersiul pada mereka, atau menggoda mereka, hanya untuk menarik perhatian salah satu dari cewek-cewek SMP yang cantik-cantik itu. Hari ini pun begitu, sementara aku duduk di bangku panjang sambil mendengarkan iPod ku.
“Dit! Dit! Vany tuh!”
Nah, di antara semua cewek SMP yang lain, ada satu cewek yang paling menarik perhatian hampir semua temanku (dan sepertinya hampir semua cowok di SMA dan SMP, dan mungkin bahkan beberapa bapak guru). Cewek itu adalah Stevany, adik perempuanku. Stevany 4 tahun lebih muda dariku, dia duduk di kelas 2 SMP.
Sebenarnya Vany sama seperti cewek-cewek yang lain; dengan tinggi badan 153 cm dan berat 46 kg, Vany tergolong kecil mungil, tidak tinggi semampai. Rambutnya yang hitam pun hanya dipotong pendek sebatas leher. Memang wajahnya sangat imut dan kulitnya pun putih mulus tanpa cacat, tapi bukan itu yang membuat teman-temanku tergila-gila padanya.
“Duh gilak tuh anak cute banget sih!!”
“Sexy banget, maksud lu..!?”
Yap... Kontras dengan wajahnya yang sangat imut seperti anak kecil, Vany bisa dibilang sangat sexy. Alasan utamanya—dan aku yakin bagian inilah yang selalu dilihat oleh hampir semua cowok—Vany memiliki dada berukuran 34 C, yang termasuk sangat besar untuk anak seusianya. Bentuknya pun sangat bulat dan penuh.
“Duh gue ngaceng... Gede banget gilak...”
“Hus! Ada kakaknya tuh.. Ntar lu dibunuh... Hahaha”
Tiba-tiba teman-temanku ber “Oooh...!!” seru. Aku melongok ke arah lantai dasar, mencari tahu penyebab “Ooh..!!” tiba-tiba itu. Pantas, pikirku. Vany sedang berlari berkejar-kejaran dengan beberapa cewek lain. Aku tahu apa yang diperhatikan oleh teman-temanku: dada Vany yang berguncang-guncang menggiurkan saat ia berlari. Aku melirik ke arah teman-temanku, dan aku dapat melihat tonjolan-tonjolan tegang di bagian tengah celana panjang mereka.
“Heh! Udah! Adek gue bukan tontonan!” ujarku. Teman-temanku menoleh.
“Yee... Salahnya adek lu punya badan kayak gitu..” kata Martin, salah satu temanku.
“Toket kayak gitu, lebih tepatnya,” kata yang lain.
“Ah, udalah! Nyebelin...” kataku gusar. Aku berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan teman-temanku yang menatapku gelisah.
Sebenarnya hal ini sudah membuatku gelisah beberapa waktu belakangan ini. Sejak adikku kelas 6 SD, entah kenapa seolah-olah dadanya seperti dipompa; pertumbuhannya pesat sekali! Hampir setiap pergantian semester, adikku ini mengeluh bra-nya sudah kesempitan, dan ternyata ukurannya sudah bertambah besar lagi. Di saat teman-teman seusianya masih belum mengenakan bra, Vany sudah mulai memilih bra mana yang harus dikenakannya, dan saat teman-temannya mulai merasakan pertumbuhan di dada mereka, milik Vany bahkan sudah jauh lebih besar dari milik ibuku.
Dan, yang paling membuatku khawatir, adalah kenyataan bahwa bagaimana pun, aku juga seorang cowok normal, yang juga bisa terangsang bila melihat sepasang dada yang bulat dan sangat besar seperti miliknya. Bahkan sudah beberapa lama ini aku menahan godaan untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang kakak pada adiknya.
“Yang ini aja...”
“Nggak ah, Kak... Bagusan yang ini tau...”
“Hmm... Masa sih?”
Sore itu aku dan Vany sedang berada di dalam sebuah toko yang menjual berbagai kartu ucapan di sebuah mall di dekat rumah kami. Kami sedang memilih kartu ucapan untuk salah seorang teman Vany yang akan berulang tahun sebentar lagi. Sudah sekitar setengah jam kami berputar-putar di antara rak-rak yang memamerkan berbagai macam kartu ucapan yang unik dan lucu, tapi kami masih belum menemukan pilihan yang tepat. Vany menarik sebuah kartu bergambar anjing kartun lucu yang sedang mendengarkan iPod dari raknya.
“Kalo yang ini?” tanyanya kepadaku.
“Hmm... Boleh juga, sih...” jawabku. “Bisa diputer-puter, ya?”
“Ya... Lucuu...”
Aku tersenyum, menunduk, mencium ubun-ubun kepalanya. Vany mendongak, menatapku sambil tersenyum. Ia menyenderkan kepalanya ke pundakku.
“Luv u, Kak...”
“Luv u too, Van...”
Sambil tetap meletakkan kepalanya di pundakku, ia kembali melihat-lihat kartu bergambar anjing yang ia ambil tadi. Seolah ia telah menentukan pilihannya.
“Yang ini aja ya, Kak?”
“Ya... Itu bagus,” jawabku.
Vany nyengir manis sekali, kemudian menggandeng tanganku ke arah kasir. Setelah membayar, kami keluar dari toko kartu itu, masih bergandengan tangan. Kami benar-benar menikmati jalan-jalan kami petang hari itu; kami berjalan perlahan-lahan, sesekali aku memainkan rambutnya yang pendek-kaku, kemudian menciumnya lembut. Vany membalas dengan tusukan nakal jari telunjuknya di pinggangku, bermaksud menggelitikku. Kami saling berbagi candaan dan menggoda satu sama lain, berfoto berdua, pokoknya benar-benar menyenangkan.
Yap. Seperti itu lah aku dan Vany, adik perempuanku satu-satunya, sekarang. Mesra sekali. Sejak kejadian malam itu (saat Belanda akhirnya melibas pasukan tua Italia 3-0) kami menjadi sangat dekat. Kami memang sudah memiliki hubungan yang baik sebelumnya—kami hampir tidak pernah bertengkar—dan kejadian itu sungguh-sungguh merekatkan kami, layaknya sepasang kekasih.
Sejak kejadian malam itu, kami saling berjanji untuk tidak mengulangi kegilaan seperti itu lagi... Dan kami berhasil! Kami menonton pertandingan-pertandingan Euro selanjutnya dengan seru, dan saling menghormati satu sama lain, menyadari status kami sebagai kakak-adik.
Tapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa sejak malam itu, Vany selalu ada dalam pikiranku. Dan setiap malam, sebelum tidur, bayangannya lah yang muncul di benakku. Aku tahu aku harus menolak pikiran-pikiran itu, tapi hasilnya malah pikiran itu muncul semakin menggila setiap kali aku onani. Setiap kali aku melakukannya, selalu muncul gambar-gambar kejadian malam itu; bagaimana aku meremas dadanya yang empuk dan besar, bagaimana putingnya mengeras, bagaimana pahanya yang mulus menjepit dan menggesek penisku, erangan dan desahan nikmatnya, dan tubuhnya yang tergeletak lemas berlumuran spermaku tak pernah bisa kuhapus dari pikiranku. Bayangan itu sungguh efektif dalam merangsangku, begitu efektifnya hingga tak cukup hanya satu kali keluar saat onani untuk memuaskan nafsuku.
Aku tak tahu apa yang Vany alami setelah malam itu; apakah dia juga mengalami apa yang aku alami atau tidak, aku tak tahu. Yang aku tahu, ia semakin sayang pada kakaknya, dan—jujur saja—ia terlihat semakin sexy sejak malam itu. Seolah dadanya yang besar bertambah besar dan menonjol menggiurkan, tetapi wajahnya yang imut bertambah imut dan polos. Ooh... Paradoks seperti itu sungguh menggairahkan!
* * *
Selasa, 17 Juni 2008 – 22.10
“Kaak... Ntar bangunin aku ya kalo udah mulai...”
“Kamu pasang weker juga lah, Van...”
“Udaah... Tapi takutnya ga bangun... Ya?”
Vany sedang menjulurkan badannya dari balik pintu tembusan antara kamarku dan kamarnya (kamar kami dihubungkan dengan kamar mandi), dan memintaku membangunkannya saat pertandingan Italia vs Prancis berlangsung nanti. Pertandingan ini merupakan pertandingan penentuan, dengan Belanda yang telah lolos dari grup maut C, posisi kedua diperebutkan Romania, Italia, dan Prancis. Pemenang laga Italia melawan Prancis akan lolos apabila Belanda berhasil mengalahkan Romania pada laga terakhir. Jika Romania menang, maka Romania-lah yang lolos mendampingi Belanda, tak peduli hasil pertandingan Italia melawan Prancis.
“Oke...” Aku mengangguk, setuju. Aku masih tetap menghadapi komputerku.
Vany berjalan ke arahku, memelukku dari belakang, mengecup pipiku.
“Thanks, Kak...” bisiknya lembut.
Aku tersenyum, menoleh menatapnya, dan mencium hidungnya yang mungil. Vany mengernyit, tapi nyengir setelahnya. Ia mencium pipiku lagi kemudian berbalik ke arah kamarnya.
Aku mendengar debam pintu ditutup di belakangku. Cepat-cepat aku mengganti screen komputerku. Aku sedang mengetik cerita tentang kejadian beberapa malam yang lalu itu. Aku sudah berjanji pada teman-temanku di Bluefame untuk membagikan cerita ini pada mereka.
Setengah jam berlalu, aku masuk bagian ketiga, bagian yang paling seru. Sambil mengetik, aku membayangkan apa yang kulakukan malam itu dengannya. Kupejamkan mataku... Sama seperti sebelumnya, bayangan-bayangan itu muncul dalam benakku. Jelas sekali... Aku membayangkan tanganku sedang meremas dadanya yang empuk dan sangat besar, memainkan putingnya yang semakin lama semakin mengeras dan menegang menggiurkan. Aku menyenderkan badanku ke kursi, merogohkan tangan ke dalam celanaku. Penisku sudah mengeras. Pelan-pelan, aku mengocoknya.
Oohh Vany toket kamu gede bangeeet siih...
Penisku semakin tegang dan membesar, kocokanku semakin keras.
Empuuk... Putingnya keras bangett... Hornya,ya Van?
Tanganku bergerak semakin cepat. Bayangan-bayangan semakin jelas.
Oh my God paha kamu ngegesek penis kakak...
Nafasku semakin cepat.
“Aah...”
Astaga, aku bahkan dapat mendengar suara desahannya dalam benakku.
“Mmmh... Mmm...”
Oh suaranya jelas sekali...
“Mmhh... Ssshhh... Aah...”
Astagaa... Aku akan segera keluaar!!!
Tapi saat itu aku sadar... Bayangan tidak bersuara! Aku membuka mataku, diam terpaku, mendengarkan...
“Mmmhh...”
Samar-samar, dari kamar sebelah, aku bisa mendengar suara desahan tertahan. Vany kah? Apa yang sedang dilakukannya?
Mengendap-endap, aku berjingkat ke arah pintu kamar mandiku, yang menghubungkan kamarku dengan kamarnya. Perlahan, sangat perlahan, aku membuka pintu kamar mandiku, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikit pun.
“Aahh... Mmmhhh...”
Desahannya semakin terdengar. Aku menjulurkan kepalaku ke dalam... benar saja; pintu kamar mandi yang menuju ke kamarnya terbuka sedikit. Mungkin Vany lupa menguncinya malam ini. Aku berjingkat perlahan ke arah pintu yang terbuka sedikit itu, dan dari celah pintu itu aku mengintip ke dalam kamar adikku.
Lampu kamarnya telah dimatikan, hanya tersisa lampu meja yang menyala oranye redup. Vany meringkuk di atas ranjangnya, tubuhnya yang mungil miring ke kanan, menggeliat-geliat pelan. Tangan kanannya merogoh bagian depan celana pendeknya, menjangkau vagina dengan tangannya, sementara tangan kirinya meremas salah satu dadanya yang besar menggiurkan itu. Vany sedang masturbasi!
“Aahhh... Aaahhh....” desahnya nikmat.
Aku terpana. Tidak pernah sebelumnya aku berpikir bahwa adikku yang polos dan imut-imut ini juga memiliki pikiran yang erotis hingga bisa masturbasi. Terdiam sejenak, aku sadar bahwa akulah yang memasukkan pikiran-pikiran seperti itu dalam benaknya. Jika kejadian malam itu tak bisa hilang diingatanku—yang telah sering ML apalagi hanya petting seperti itu—tentunya lebih tidak bisa hilang lagi dalam pikiran Vany yang masih polos dan baru pertama kali melakukannya. Tersenyum, aku membalikkan badanku, bermaksud meninggalkan Vany dalam fantasinya. Tapi, baru setengah langkahku terangkat, aku mendengar sesuatu yang membuatku tertegun.
“Mmmhh... Kak... Kaak...”
Jantungku serasa berhenti. Astaga! Rupanya aku yang dibayangkannya! Penasaran, aku berbalik, hendak mengintip ke arah kamarnya lagi, melihat apa yang terjadi. Namun, karena gelap, aku menyenggol tempat sampah kamar mandi yang terbuat dari besi, sehingga jatuh berkelontangan.
Tanpa melihat pun, aku tahu Vany tertegun di ranjangnya. Hening mencekikku. Aku dilanda kebingungan, berbalik ke kamarku sepelan mungkin, atau membereskan dulu tong sampah itu baru berbalik. Sebelum aku mengambil keputusan, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, lampu menyala. Vany berdiri di ambang pintu. Tubuhnya berkeringat, wajahnya yang imut diliputi kecemasan dan terkejut.
“Eh... Kak? Nga... Ngapain?” Vany bertanya gugup.
“Hah? Oh? Nggak koq nggak ngapa-ngapain... Eh... Belum tidur?” aku tak kalah gugupnya.
Terdiam. Kami membatu di tempat masing-masing, menyadari kejanggalan yang terjadi. Vany memberanikan diri bertanya.
“Kakak... Tadi liat aku?”
“Ah? Ah...” Aku gelagapan, tak tahu harus menjawab apa. “Eh, ya... Lebih ke arah denger sih...”
Terdiam lagi.
“Tadi pintunya agak kebuka sedikit...” lanjutku sambil mengangguk ke arah pintu yang menuju kamarnya.
“Oh, ya...”
Terdiam lagi. Suasana ini tidak menyenangkan. Wajah Vany merah padam.
“Mm... Kakak... Denger semua?” suara Vany sangat pelan hampir berbisik. Aku terdiam, tak mampu menjawab.
“Yah... Ya... Kamu bayangin... Kakak?” tanyaku. Langsung ke sasaran.
“Hah? Eh...” wajahnya tambah merah padam. “Yah... I... Ya gitu deh...”
“Oh ya?” jawabku canggung. Tak tahu melanjutkan ke mana.
“...Yang malem itu...” bisik Vany.
Aku terdiam. Sudah kuduga ia akan memikirkan apa yang kami buat malam itu. Perasaan bersalah terasa menyakitkan menusuk hatiku. Kami terdiam, terpaku di tempat masing-masing, bingung harus melakukan apa selanjutnya.
“Eh... Yah... Yasudah... Kakak tidur dulu?” kataku gugup.
“Hah? Oh... Ya... Oke... Nanti bangunin aku ya...” kata Vany, senyum gugup mengembang di bibirnya yang mungil.
Vany membantuku membereskan sampah yang sedikit berserakan. Aku tersenyum, mengecup keningnya, kemudian berbalik, hendak kembali ke kamarku, berusaha melupakan apa yang kulihat barusan. Saat itulah Vany memelukku dari belakang.
“Kak...” bisiknya.
“Ya?” jawabku, berusaha setenang mungkin.
“Kakak... Juga mikirin yang malem itu?” Vany bertanya takut-takut.
Hening.
“Kak?”
“Ya... Iya...”
Hening lagi.
“Yang pas apa yang kakak bayangin?”
“Heh? Koq nanya kayak gitu?”
Aku mendengarnya tertawa kecil. Vany semakin mempererat pelukannya. Dadanya yang empuk menekan punggungku, enak sekali... Aku merasa celana pendekku mulai menyempit.
“Kamu bener-bener kepikiran, ya?” tanyaku. Aku merasakan anggukan kecil kepalanya.
“Pengen... Lagi...” katanya pelan.
“Heh! Katanya waktu itu jangan lagi... Dosa...” jawabku. Aku agak geli.
“Iya... Tapi...”
Aku tersenyum, membalikkan badanku. Vany menunduk, terlihat lesu.
“Hei...” sapaku lembut. Kuangkat dagunya perlahan. “Ga baek tau kita gitu... Kan kakak-adek... Waktu itu udah janji juga kan kita ga mau gitu lagi... Ya kan?”
Apa yang kukatakan ini sungguh bertentangan 180 derajat dengan apa yang kurasakan. Penisku yang menegang serasa berdenyut-denyut di balik celana pendekku. Ingin rasanya aku langsung melumat bibirnya yang mungil itu dan menghujamkan penisku ke dalam tubuhnya. Tapi, bagaimana pun, aku kakaknya. Aku tahu itu tidak boleh.
“Iya... Iya sih...” jawabnya, lembut. “Sorry...”
“Hm? Koq sory?”
“Abis... Kan udah janji waktu itu...”
Tidak boleh, dia adikku. Aku terus memberitahu diriku sendiri. Tapi saat itu aku mataku terantuk pada dadanya yang besar menantang. Penisku semakin mengeras. Aku menggelengkan kepala.
“Kakak nggak pengen lagi?” tanyanya, polos.
Nggak.
“Yah...”
Bilang nggak pengen.
“Eh...”
Stop.
“Ya... Yah... Jujur sih... Eh...”
Dia adik lu!
“... Ya pengen sih...” Bagaimana pun aku kalah lagi. Vany mendongak, menatapku. Saat itu wajahnya terlihat imut sekali.
“Karena toketku?” tanya Vany.
“... Iya... Sory...” jawabku lemah.
“Gapapa...” jawabnya. Mukanya merah padam.
“Abis... Gede banget...”
“Segede itu kah?” tanyanya perlahan, kedua tangan mungilnya memegang dadanya, meremasnya, seolah tak percaya bahwa dadanya memang sangat besar.
Aku tak tahan lagi. Kupeluk tubuh mungil Vany. Dadanya yang besar menekan dadaku. Aku mencium bibirnya yang mungil, lembut. Vany terkejut. Sesaat seolah ia akan meronta melepaskan diri dari pelukanku, namun detik berikutnya ia telah membalas ciumanku.
Ciuman kami bertambah panas. Lidahku perlahan masuk ke dalam mulutnya, memainkan lidahnya. Vany cepat belajar rupanya, segera membelit lidahku dengan lidahnya yang mungil. Decak lidah kami terdengar menggiurkan di dalam heningnya malam itu. Tanganku merogoh pantatnya, meremasnya. Baru kali ini aku menyadari pantat Vany juga montok dan tebal. Vany melepaskan ciuman, mengambil nafas. Benang ludah tipis menghubungkan mulut kami. Sexy sekali.
“Di kamar aja yuk?” ajaknya.
Aku mengangguk. Kugendong Vany kembali ke kamarnya, kurebahkan tubuh mungilnya di atas ranjangnya. Perlahan, aku merebahkan diri di atas tubuh Vany, kembali melumat mulutnya dengan penuh gairah. Tapi saat itu Vany terbatuk.
“Kenapa?” tanyaku.
“Uhuek... Kakak berat!” katanya terbatuk. Ia tertawa terbahak-bahak. Tawanya yang renyah justru menambah gairahku. Kami berciuman lagi. Nafas kami semakin memburu. Aku menurunkan ciumanku ke rahangnya, kemudian lehernya, perlahan-lahan. Vany mencengkeram rambutku.
“Mmhhh... Jilatin leherku, Kak...”
Aku menurutinya. Aku memutar-mutar lidahku di lehernya, kucium perlahan, terus berulang-ulang. Vany mengejang.
“Enak?” tanyaku.
“Hmmhh... Iya... Lagi kak...” Vany mendesah.
Kali ini, sambil menjilat dan merangsang lehernya terus-menerus, tanganku perlahan meremas dadanya yang seempuk bantal. Rupanya malam ini Vany memakai BH, sehingga tanganku tidak langsung menyentuh putingnya. Tapi aku merasakan puting Vany telah mengeras seperti malam itu.
“Buka aja kaosnya...” pintanya. Aku mengangguk. Perlahan, aku mengangkat kaos piyama warna pink itu. Vany mengangkat kedua lengannya agar bisa kubuka sepenuhnya. Aku tertegun melihat BH warna putih berenda yang dikenakannya. Baru kali ini aku melihat tubuh adikku seperti ini. Dadanya yang besar dan bulat terlihat sangat kesulitan ditahan oleh BH itu. Aku mulai mencium dan menjilat dada Vany, sementara tanganku masih tak puas merasakan empuk dan kencangnya.
“Emang bener-bener gede, Van...” bisikku. Vany hanya tersenyum, menggeliat nikmat. Aku meremas dadanya lagi, ragu-ragu apakah sebaiknya kubuka Bhnya atau tidak. Seolah dapat membaca pikiranku, Vany bertanya.
“Mau liat?” tanyanya, menggoda.
Tak menunggu disuruh dua kali, kutarik BH itu ke atas. Dada Vany yang besar berguncang menggiurkan saat terbebas dari cengkeraman BHnya. Sungguh besar, bulat dan putih mulus sekali, dengan puting yang masih belum pernah tersentuh tangan pria berwarna coklat muda kemerahan. Benar dugaanku, putingnya telah ereksi setegang-tegangnya. Dada Vany benar-benar sempurna.
“Oh my God...” bisikku kagum. “The best...”
“Hehehe... Berisik... Ayo cepet...” katanya.
Aku membenamkan wajahku di antara kedua payudaranya. Empuk, lembut sekali. Sensasi kenyalnya dada Vany membuatku sungguh terangsang. Dada Vany sungguh penuh membungkus wajahku. Aku bergeser. Jemariku memainkan putingnya yang telah tegak berdiri.
“Aaahh... Kakk... MMhhh...” Vany mendesah nikmat. Kujilat dan kusedot puting kanannya, sementara tangan kananku meremas dada kirinya. Kemudian berganti, puting kirinya kusedot dan kujilat perlahan, sementara puting kanannya kumainkan dengan jemariku; kucubit dan kuputar.
“Aaahh... Aaahh... Ka...K... Pelan... Pelaan... Mmmhhh!!”
Aku menyadari Vany lebih terangsang saat puting kirinya kujilat. Rupanya Vany lebih sensitif di puting kiri.
“Kamu lebih suka di sini ya?” godaku sambil menggigit perlahan puting kirinya.
“AAAHH... Aah!! IYA! Ooh... Mmmhhh... Jangan digigiitt... Mm!!” Vany mendesah keenakan. Tubuhnya menggeliat-geliat. Tangannya mencengkeram seprei. Sambil melepas celana pendeknya, aku semakin liar memainkan dadanya yang besar menggiurkan. Kuputar-putar lidahku di kedua putingnya bergantian. Vany tak tahan.
“OOH... Kaakk... Ka... Kalo gitu terus... Aku... Aaahh... Mmhh... Kk...”
“Mau keluar?” tanyaku sambil terus meremas dan menjilat dadanya. Vany mengangguk panik. Aku nyengir nakal. Puting kirinya kujilat sangat perlahan, sementara tangan kananku merogoh selangkangannya. Sudah basah kuyup.
“AaaahhhHH....!!! Kaaakkkk!!!”
Sslllrrssshhhhhhh... Vany mengejang, mengangkat pinggulnya, menyemprotkan cairannya banyak-banyak, membasahi tanganku. Ia terkulai lemas.
“Kenapa kamu? Belon diapa-apain udah squirting gitu?” godaku.
“Hhh... Hh... Enak aja blon diapa... apain... Hh...” jawabnya, terengah-engah. Aku tertawa pelan.
“Masih kuat?”
Ia mengangguk, tersenyum.
“Kakak nakal...” bisiknya. Aku nyengir dan kembali membenamkan kepalaku kedalam bekapan dadanya. Benar-benar enak sekali.
“Mmm... Vnn... Nnii subber bngeddd...(Mmm... Van ini super banget)” kataku dalam bekapan dadanya. Vany tertawa geli. Kedua tangannya meremas dadanya, menekankannya ke arah wajahku, sehingga semakin membekap wajahku. Saat itu ide gila melintas di benakku.
“Van, kamu tau titf*ck?” tanyaku.
“Apa tuh?”
“Itu... Gini...” Aku berdiri, membuka celanaku. Penisku yang tegak berdiri mengacung ke arahnya. Vany melotot memandang penisku.
“Mau diapain, Kak?” tanya Vany.
“Kayak tadi...” Dengan lembut aku berlutut, mengangkang melewati perutnya. Kuletakkan penisku di antara dadanya yang lembut itu. Vany mengerti.
“Ooohh... Iya iya!” katanya, mengangguk-angguk. Vany memegang kedua dadanya yang besar, kemudian menjepit penisku di antaranya. Luar biasa!
“Aaahh!!! Vaan... Ini enak banget!!”
“Enak??” tanyanya.
Tangan Vany meremas-remas, memijat-mijat dadanya. Sensasi empuk dan kencang membungkus penisku. Dadanya sungguh besar hingga yang terlihat hanya kepala penisku yang berwarna merah. Rasanya berdenyut-denyut di antara jepitan lembut dadanya.
“Van, dikocok deh... Mmmhhh... Pelan-pelan,” pintaku.
“Oke...” Vany menggerakkan dadanya naik turun bersama-sama, perlahan. Aku tak dapat melukiskan kenikmatannya dengan kata-kata. Kemudian ia menggerakkan dadanya bergantian, kiri-kanan-kiri-kanan... Benar-benar luar biasa!
“Ooohh... Mmmmhhh... Vaann... Sambil dijilat... Kepalanya...”
Vany menunduk, menjilat kepala penisku. Aku rasa batasku sudah semakin dekat. Seolah mengerti pikiranku, Vany berkata.
“Keluarin aja, Kak... Semprot yang banyak!” bisiknya.
“Okee... Mmmhh... Ben... Bentar laggii... Aaahhh....”
Vany semakin cepat menggerakkan dadanya naik-turun, ia juga mengencangkan jepitannya, tapi jilatannya tetap pelan dan lembut. Aku sudah tak tahan lagi!
“VAAN... Kakak.... MMMMmmmhHHH!!!!”
Crooottt... Crroooottt... Crrroooottt.... Penisku meledakkan sperma kuat-kuat berkali-kali ke wajah imut Vany. Vany memejamkan mata dan menutup mulut rapat-rapat. Aku terus menyemprot hingga hampir seluruh wajah dan dadanya yang besar berlumuran cairan putih kental itu.
Vany membuka mata, menjilat sperma sekitar mulutnya. Cairan putih menetes dari daun telinga, juga poni rambutnya. Wajah polosnya benar-benar belepotan sekarang. Aku mengangkat penisku dari dadanya, masih tegang, sama seperti waktu itu. Rupanya memang tidak cukup hanya sekali untuk memuaskan nafsuku.
“Oke... Sekarang giliran kamu lagi...” kataku.
Aku menunduk ke arah selangkangannya. Kubuka tungkai Vany hingga mengangkang sempurna. Celana dalamnya basah kuyup. Aku menjulurkan jari telunjukku untuk menyentuh vaginanya. Perlahan, kugerakkan naik-turun telunjukku di bibir vaginanya.
“Mmm... Mmhhh... Kaak...” desahnya pelan. Aku menusukkan telunjukku lembut lebih kedalam. Vany menjengit. “Lagi, Kak...”
“Tunggu...” Perlahan, kubuka celana dalamnya yang berwarna putih. Vagina Vany masih belum berbulu, hanya rambut-rambut sangat tipis yang tumbuh sedikit di sekitar bibir vaginanya. Bentuknya pun indah, tembem. Klitoris Vany sudah menonjol keluar. Cairan bening mengalir dari dalam vaginanya.
“Wow... Kenapa badanmu sempurna gini sih?” bisikku menggodanya.
“Apaan sih kakak...” kata Vany.
Tanpa berlama-lama, aku langsung mencium vaginanya. Vany mengejang, menggeliat setiap kali aku menyentuh klitorisnya dengan bibirku. Harum segar sekali baunya.
“Aahh... Kaakk... AaaaHH... Aa...” desah Vany. Aku menjulurkan lidah, kujilat bibir vaginanya yang tembem. Vany menggeliat semakin kuat, mencengkeram kepalaku. Aku meremas pantatnya perlahan-lahan sambil terus menjilati vaginanya.
“Kaakk... Kakakk... Oohh... Mmmhhh... Yess...” Vany mendesah. Nafasnya berat, tak beraturan. Kujulurkan lidahku lebih dalam, kali ini menjangkau bagian dalam vaginanya. Vany mendesah dan mendesis tak karuan, pinggulnya menegang. Aku melirik ke atas, tangan kanannya sedang meremas dadanya yang besar, memainkan puting kirinya yang sensitif. Kugigit lembut klitoris adikku.
“MMM!!! Kaaakkk!!! Keluaaarrrr!!! Aaaahhh... AAAAHH!!!”
Sebelum aku sadar, Vany telah menyemprotkan cairannya ke wajahku. Semprotannya kencang sekali. Untung saja aku sempat memejamkan mata dan menahan nafas. Belum sempat aku mengambil nafas, Vany telah menyemprotkan orgasmenya yang kedua. Lebih banyak kali ini.
“Oohh... Oohh... Mmhhh... Hhh... Hhhh...” Vany terengah-engah tak karuan. Dadanya bergerak naik-turun, mengatur nafas. Aku membenamkan wajahku di dalam selimut, berusaha mengeringkannya. Vany tertawa geli melihat kakaknya basah kuyup.
“Apa kamu ketawa-ketawa...” ujarku. Geli juga sih...
“Hahahaha... Emang aku nyemprotnya sampe segitunya? Hahaha...” katanya geli.
“Hehe... Abis kamu tiba-tiba gitu... Dua kali, lagi...” kataku, akhirnya ikut tertawa.
“Kan aku udah bilang tadi...” jawabnya. Vany terkulai lemah di ranjang, tapi matanya berbinar senang.
“Hehehe... Nakal kamu...” bisikku. Aku merebahkan diri di atas adikku, kemudian melumat bibirnya yang mungil itu dengan sayang. Penisku masih tegang sekali, agak menyentuh vaginanya. Vany berjengit, melepaskan ciuman.
“Kak... Masih tegang, ya?” tanyanya polos. Aku mengangguk.
“Kamu sexy banget sih... Jadi tegang terus...” aku berbisik menggodanya.
“Mau disedot?” tawar Vany sambil tersenyum.
“Heh? Emang kamu bisa?” tanyaku, agak terkejut.
“Bisa... Waktu itu kan pernah ngintip Kakak lagi disedot Kak Grace...” jawabnya, meyakinkanku. Grace itu pacarku. “... Eh... Apa namanya... Oral?”
“Ya... Oral,” kataku membenarkannya. “Nakal ya kamu ngintip-ngintip orang!”
Vany nyengir jahil. Ia mendorongku. Aku berguling ke sisinya, terlentang. Vany bangkit dan membungkuk di atas kakiku, kepalanya menghadap penisku yang tegak berdiri.
“Mulai... Eh... Mulai dari sini kan ya?” tanyanya ragu-ragu sambil menjulurkan tangannya yang mungil untuk menggenggam penisku. Aku mengangguk. Perlahan, Vany mengocok penisku. Aku tahu ia masih takut-takut.
“Mmhh... Enak gitu Van... NnhHh.. Teruss.... Betul... Mhh...” desahku.
Lama-kelamaan Vany semakin yakin dan terbiasa dengan penisku. Kocokkannya semakin mantap. Tak lama kemudian, ia mendekatkan bibirnya ke kepala penisku, menjulurkan lidahnya untuk menjilat. Perlahan-lahan, ia menjilati kepala penisku. Enak sekali.
“Aahh... Ji... Jilat batangnya juga, Sayang... Mmhh...”
Vany menurut. Ia menjilati batang penisku dengan bersemangat. Lama-kelamaan jilatannya semakin berani. Vany memutar-mutar lidahnya di sepanjang penisku.
“Slllrpp... Mmahh... Kaka... Enaa...k... Sllrpp?” tanyanya sambil terus menjilat. Aku mengangguk, memejamkan mata, berusaha menahan agar tidak orgasme terlalu cepat. Tiba-tiba, Vany berhenti menjilatiku. Ia menegakkan tubuhnya, seolah bersiap-siap.
“Abis itu... Gini... Ya...?” Ia membungkuk, memasukkan penisku ke dalam mulutnya yang mungil. Vany harus membuka mulutnya lebar-lebar agar penisku bisa masuk semua. Rasanya luar biasa!
“Mmhh... Ccpp... Bunya... Kak... Gdee... Mmm... Cppp... B... Nget... Puah... Sampe susah nyedotnya...” katanya. Aku tertawa. Ia kembali menyedot penisku, perlahan-lahan. Kepalanya bergerak naik-turun. Di dalam, lidahnya memainkan bagian bawah batang penisku. Ia melakukannya benar-benar seperti sudah profesional.
“Kamu... Mmmhh... Ngintipnya... Sampe kayak gimana... Mmmhhh... Waktu itu?” tanyaku. Tekniknya memang mirip dengan Grace.
“Dari... Mmmh... Slllrpp... Aw...al... Cppp... Mmmm... Sppp... Samp...e... Abiss... Cpp...” jawabnya terpatah-patah. Pantas saja...
Vany semakin cepat menggerakkan kepalanya naik-turun. Rongga mulutnya yang kecil menjepit penisku pas sekali, dan lidahnya yang menggeliat-geliat di bagian bawah penisku sungguh membuatku tak berdaya. Aku tak yakin apakah aku mampu bertahan lebih lama lagi.
“Van... Oohh... Kaka...K... Mmhhh... Aaahh... Mau keluar nih... Aahh.. Kayaknya...”
Vany tidak memedulikanku. Ia menggerakkan kepalanya semakin cepat, kemudian menyedot penisku kuat-kuat sebelum melumatnya hingga ke pangkal. Aku benar-benar tak tahan.
“Vaann... Nnn... MMmhhhh... Uu... Udah... Dikasi.. Tau... Lo... OOOHHH!!!!! AAAAHH!!” sebelum kalimatku selesai, Vany menyedot kuat sekali lagi, dan aku meledakkan spermaku berkali-kali ke dalam mulutnya.
“Aahhh... Aaa... AAAHH!!! Mmmhh... OoooH!!!” desahku setiap kali penisku menembakkan cairan ke dalam mulut adikku. Vany terus mempertahankan penisku di dalam mulutnya. Cairan putih kental mengalir keluar dari balik bibirnya. Rongga mulutnya yang mungil tak mampu menahan sperma kakaknya yang menyemprot berkali-kali banyak-banyak.
Aku menghela nafas panjang saat akhirnya selesai. Vany merangkak, merebahkan diri di sisiku, mencium pipiku. Aku menoleh dan melumat bibirnya yang belepotan spermaku. Kami saling membelit lidah. Tak memikirkan betapa hubungan ini sebenarnya terlarang.
“Kak...” katanya lembut.
“Ya?”
“Thanks...”
“Hahaha sekarang kamu yang bilang thanks...”
“Iya donk... Kakak enak banget...”
“Kamu juga...”
Kami terdiam. Aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya. Vany memeluk lenganku. Dadanya yang montok menekan, tapi kali ini aku sudah terlalu lelah.
“Kak...”
”Hmm?”
“Enak mana... Sama Kak Grace?” tanya Vany.
“Oralnya?”
“He-eh...”
“Enak kamu...”
“Bohoooonnnggg...!!” ujarnya. Aku tertawa.
“Hahaha.. Iya deehh... Enakan Grace...” kataku. “Jangan dibandingin donk... Dia bibirnya sexy tebel gitu...”
“Hehehe...” Vany terkekeh.
Terdiam lagi. Apa yang bakal Grace bilang kalo dia tau pacarnya punya hubungan intim dengan adik kandung sendiri?
“Kak...”
“Hm?”
“Lain kali...”
“...Jangan lagi?” aku memotong ucapannya.
“Nggak...” katanya, tersipu. “... Lain kali lagi yuk...”
Aku tertawa. Adikku parah sekali rupanya.
“Besok jalan yuk...” ajak Vany.
“Besok Kakak ada janji sama Cherry,” kataku. Cherry ini sahabatku sejak SD.
“... Mau anal ya?” bisiknya jahil.
“Heehh??? Koq gituuu...??”
“Kan Kakak sering anal sama dia... Aku tau aja...”
“... APAA???”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.